Setelah mengetahui kebudayaan Dayak secara umum, maka dapat dilihat beberapa kebiasaan mereka yang memiliki nilai naturalistis. Mereka hidup menyatu dengan alam, mulai dari memenuhi kebutuhan hidup sampai hal kepercayaan mengenai kemistisan alam. Seperti yang tergamabar dalam kepercayaan Kaharingan yang mereka anut. Akan tetapi dalam kepercayaan Kaharingan mereka, ada ajaran-ajaran tentang etiket sebagai pedoman berperilaku di masyarakat. Bila ditinjau dari sistem kekerabatan orang Dayak, khususnya mengenai sistem perkawinannya dapat dilihat yang diidealkan adalah yang memiliki ikatan keluarga sangat dekat, mungkin alasan mereka adalah supaya ikatan kekerabatan mereka akan tetap terjaga dan tentunya alasan yang lainnya karena mereka sudah saling mengenal karakter masing-masing mempelai karena masih satu keluarga.
Mengenai Rumah Betang atau rumah panjang dalam kehidupan masyarakat Dayak dalam suatu kelompok yang tinggal menjadi satu dalam rumah Betang tersebut, memiliki peranan penting dalam sistem kekerabatan dan sistem sosial mereka. Mulai dari pengolongan kepala suku, kerabat dekat kepala suku hingga anggota kelompok yang biasa itu pun terjadi di rumah Betang. Dalam rumah tersebut pula proses interaksi antar anggota keluarga terjadi misal dalam penyelesaian perselisihan yang terjadi diantara penghuni rumah dan kemudian diselesaikan melalui perantara kepala suku sebagai penengah.
Masyarakat Suku Dayak di Kalimantan Tengah sangat menjunjung tinggi kerukunan, saling menghormati, tolong menolong terhadap sesama manusia baik antara Suku Dayak sendiri maupun Suku Bangsa lain yang datang atau berada di Bumi Tanbun Bungai, mereka tidak mempersoalkan terhadap suku-suku bangsa lain, hal ini terlihat dari budaya masyarakat Dayak yang sangat dikenal yaitu Budaya Rumah Betang (Huma Betang) yakni berarti berbeda-beda tetapi tetap satu dan dilengkapi dengan filsafat masyarakat Dayak Kalimantan tengah seperti “Belum Bahadat” yang berarti manusia hidup berada pada suatu tempat menjunjung tinggi etika dan estetika antara masyarakakat setempat. “Belum Penyang Hinje Simpe” yaitu kehidupan dalam suatu daerah harus diwujudkan dalam hidup yang rukun dalam satu kebersamaan.
Tulisan diatas dikutip dari makalah yang disusun oleh Egi Prasetyo, mahasiswa S1 Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada.
Selengkapnya mengenai pembahasan kebudayaan Dayak dapat dilihat di makalah tersebut.
Anda dapat mengunduh makalah tersebut DISINI. Jangan lupa cantumkan sumbernya ya..
terima Kasih
Selengkapnya...
Senin, 16 Januari 2012
Dalam Master Theses-nya Johz R. Mansoben dari Universitas Cendrawasih mengemukakan masyarakat Pantai Utara bersifat sangat indifidualistis. Mungkin hal ini dapat kita amati bahwa orang Bgu dalam melaksanakan kegiatan sehari-hari misalnya dalam kegiatan mencari matapencaharian cendrung sendiri-sendiri. Dan juga dapat kita lihat dalam kehidupan masyarakat Bgu tidak terdapat suatu upacara-upacara yang memperekat dan mengembangkan hubungan antar kelompok, meskipun terdapat upacara gereja tetapi mereka menjalaninya dengan perasaan kosong.
Setelah saya amati permasalahan diatas dapat terjawab dengan paparan yang diberikan oleh Koentjaraningrat dalam bukunya MANUSIA DAN KEBUDAYAAN DI INDONESIA
- 1. Dalam bab identifikasi yang menjelaskan kebudayaan penduduk pantai utara irian jaya pada halaman 70. Beliau mengemukakan karena isolasi geografis terdapat keanekaragaman bahasa di papua, mungkin karena perbedaan bahasa yang sangat kontras inilah terjadi suatu sikap yang indifidualistis.
- 2. Dalam bab “sistem kekerabatan” pada pembahasan kebudayaan yang sama di halaman 82. Beliau mengemukakan bahwa pendeta hanya datang ketika melakukan kunjungan dalam rentang waktu dua sampai tiga tahun sekali, hal ini menunjukan betapa kurangnya bimbingan agama sehingga meraka menjalankan upacara keagamaan di gereja dengan perasaan kosong
- 3. Dalam bab “hidup berkomuniti dan pimpinan desa” pada pembahasa kebudayaan yang sama di halaman 83-84. Koentjaraningrat mengemukakan penyakit kronis yang menghinggapi kehidupan komuniti di desa-desa Pantai Utara tak adanya kepemimpinan dan dalam penjelasan yang lain beliu mengemukakan bahwa kurangnya tenaga pemimpin di karenakan gejala imigrasi secara musim ke kota Jayapura. Dapat di tarik kesimpulan mengapa dalam kehidupan keseharian mereka tidak ada upacara-upacara seperti halnya upacara bakar batu dan yang di jelaskan oleh Srtini dalam bukunya MUTIARA KEARIFAN LOKAL, 2008 dan pekerjaan yang dilaksanakn dengan kelompok-kelompok yang terdiri dari beberapa orang, adalah di sebabkan karena krisisnya kepemimpinan.
Tulisan ini dambil tanggal 16 Januari 2012 dari makalah yang disusun oleh Abdullah Arif, mahasiswa S1 Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada.
Makalah tersebut dapat anda download disini.
Selengkapnya...
Kamis, 12 Januari 2012
Kebudayaan Indonesia di masa lalu diwarnai oleh dualisme. Ungkapan “Desa mawa cara, Negara mawa tata” menunjukkan adanya dua subsistem dalam masyarakat tradisional. Keduanya merupakan unit yang terpisah, bahkan sering saling bertentangan, dan pantang memantang. Namun karena sarana produksi dikuasai oleh pusat kerajaan, dominasi kebudayaan keraton memancarkan sinarnya ke kebudayaan desa, tetapi tidak sebaliknya4.
Makna yang bisa diambil adalah tentang introspeksi diri yang dalam peringatannya disebut lelaku. Dari introspeksi diri diharapkan kita sebagai jiwa yang bersih dan harus memulai kehidupan di tahun yang baru dengan lebih dewasa dan bijaksana. Kemudian ada istilah jawa “eling” yang dalam bahasa Indonesia berarti ingat, memiliki penjelasan bahwa manusia merupakan ciptaan Tuhan, jadi manusia harus selalu ingat akan perintah dan larangan-Nya agar manusia dapat selalu hidup di jalan yang benar.
Dalam budaya tersebut juga terdapat kebiasaan yang tidak boleh mengadakan hajatan pernikahan selama bulan Suro, karena sesuai dengan maknanya yang sebagai bulan lelaku atau bulannya introspeksi diri untuk membuka lembaran baru dalam tahun yang baru sehingga telah muncul kebiasaan untuk tidak menggelar acara yang menonjolkan kemeriahan dan keglamoran atau kegemerlapan pesta yang tidak selaras dengan makna lelaku yang sudah dijelaskan sebelumnya.
Setelah mengkaji tentang budaya peringatan satu Suro di tanah Jawa, maka dapat diambil beberapa kesimpulan yang berupa makna atau pesan dari budaya tersebut dan dapat pula menjadi referensi dalam mengkaji kebudayaan tersebut apakah tujuannya dan cara pelaksanaannya masih murni sesuai dengan syariat agama yang benar atau sudah ada indikasi negatif yang artinya bertolak belakang dengan budaya Islam.
Selengkapnya...