Kamis, 12 Januari 2012

Kebudayaan Indonesia di masa lalu diwarnai oleh dualisme. Ungkapan “Desa mawa cara, Negara mawa tata” menunjukkan adanya dua subsistem dalam masyarakat tradisional. Keduanya merupakan unit yang terpisah, bahkan sering saling bertentangan, dan pantang memantang. Namun karena sarana produksi dikuasai oleh pusat kerajaan, dominasi kebudayaan keraton memancarkan sinarnya ke kebudayaan desa, tetapi tidak sebaliknya4.
Makna yang bisa diambil adalah tentang introspeksi diri yang dalam peringatannya disebut lelaku. Dari introspeksi diri diharapkan kita sebagai jiwa yang bersih dan harus memulai kehidupan di tahun yang baru dengan lebih dewasa dan bijaksana. Kemudian ada istilah jawa “eling” yang dalam bahasa Indonesia berarti ingat, memiliki penjelasan bahwa manusia merupakan ciptaan Tuhan, jadi manusia harus selalu ingat akan perintah dan larangan-Nya agar manusia dapat selalu hidup di jalan yang benar.


Dalam budaya tersebut juga terdapat kebiasaan yang tidak boleh mengadakan hajatan pernikahan selama bulan Suro, karena sesuai dengan maknanya yang sebagai bulan lelaku atau bulannya introspeksi diri untuk membuka lembaran baru dalam tahun yang baru sehingga telah muncul kebiasaan untuk tidak menggelar acara yang menonjolkan kemeriahan dan keglamoran atau kegemerlapan pesta yang tidak selaras dengan makna lelaku yang sudah dijelaskan sebelumnya.
Setelah mengkaji tentang budaya peringatan satu Suro di tanah Jawa, maka dapat diambil beberapa kesimpulan yang berupa makna atau pesan dari budaya tersebut dan dapat pula menjadi referensi dalam mengkaji kebudayaan tersebut apakah tujuannya dan cara pelaksanaannya masih murni sesuai dengan syariat agama yang benar atau sudah ada indikasi negatif yang artinya bertolak belakang dengan budaya Islam.


 


Blogger Template By LawnyDesigns