Kamis, 11 Oktober 2012

Hume menyangkal angapan rasionalisme bahwa ada paham-paham dan prinsip-prinsip yang kita ketahui berasal murni dari akal budi, lepas dari segala pengamatan. Menurut Hume, segala isi kesadaran berasal dari pengalaman inderawi. Hanya ada dua macam pengertian, yaitu pengalaman inderawi, baik dari luar maupun perasaan-perasaan batin, yang disebutnya impression, dan isi-isi hasil asosiasi impresi-impresi itu, yang disebutnya ideas atau gagasan. Yang terakhir termasuk prinsip-prinsip ilmu ukur juga pikiran tentang Tuhan. Oleh karena gagasan-gagasan ini semata-mata berdasarkan asosiasi antara impresi-impresi, pengalaman-pengalaman inderawi dan batin, gagasan-gagasan itu tidak memiliki eksistensi sendiri. Gagasan-gagasan itu semata-mata mencerminkan proses-proses psikis kita dalam menghubungkan dan mengkombinasikan data-data empiris. Oleh karena itu, konsepsi Hume dapat disebut Psikologisme. Hume menolak adanya kebenaran-kebenaran yang mutlak, yang pasti. Semua kebenaran bersifat faktual, dalam arti berdasarkan adanya kesan inderawi atau data pengalaman yang kebetulan. Yang dapat diketahui semata-semata kesan-kesan inderawi satu-satu. Secara objektif tidak ada kepastian bahwa pengalaman yang sering terulang akan terus terualang, misalnya bahwa batu ygn dilempar ke atas mesti jatuh ke bawah lagi. Apa yang kita sebut hukum alam bukanlah kepastian objektif, melainkan berdasarkan kepercayaan kita semata-mata. Kepercayaan itu sendiri berdasarkan perasaan kebiasaan, sebenarnya tidak ada kepastian, melainkan hanya kebarangkalian. Hume menganut skeptisisme; ia tidak menerima bahwa ada pengetahuan yang memberikan kepastian. Secara khusus Hume mengkritik dasar metafisika : pengertian kausalitas atau penyebaban, dan pengertian substansi. Jika sebuah bola bilyar melanggar bolabilyar yang lain, dan yang pertama berhenti bergerak, sedangkan yang kedua meneruskan gerakannya, dikatakan bahwa hantaman bola bilyar pertama menyebabkan gerakan bola bilyar kedua. Namun, menurut Hume tidak ada dasar sama sekali untuk mengatakan demikian. Yang diamati hanyalah post hoc, bukan proper hoc, hanyalah bahwa sudah dua bola itu bersentuhan, yang satunya mulai bergerak, tetapi kita tidak melihat bahwa gerakan bola kedua adalah karena bola yang pertama. Pengamatan empiris selalu hanya menyediakan urutan dalam waktu, tidak pernah sebuah hubungan internal. Substansi dimaksudkan sesuatu yang berada pada dirinya sendiri, di mana pelbagai sudut menjadi satu dalam substansi tersebut. Namun, gagasan itu pun hanyalah gagasan psikologis, bukan ontologis. Dalam kenyataan kita hanya melihat pelbagai segi yang melekat pada sesuatu, a bundle of perceptions, dan tidak pernah “sesuatu” itu sendiri. Kita menganggap semua segi seseorang – gerak-geriknya, bentuknya, warnanya, tertawanya,dan sebagainya – sebagai ciri orang itu adalah semata-mata berdasarkan kebiasaan bahwa segi-segi itu selalu muncul bersama. Pengalaman inderawi tidak memuat apa pun tentang sebuah substansi “di belakang” segi-segi itu. Itu bahkan berlaku bagi keakuan kita sendiri. Kita berpendapat bahwa keakuan kita merentangkan diri secara identik melalui waktu. Namun, sebenarnya “aku” ini hanyalah “deretan kontinu kesan-kesan”. Kelihatan bahwa Hume memang pemikir empiristik murni. Empirisme merupakan epistemologis karena mengenai batas kemampuan pengetahuan manusia. -------- Analisis ------- Kelemahan pemikiran Hume mengenai skeptisisme David Hume menganggap bahwa tidak ada pengetahuan yang memberikan kepastian. Bagaimana dengan adanya hukum-hukum ilmu ukur atau ilmu hitung yang telah menjadi kesepakatan bersama? Dengan pengakuan akan kebenaran suatu hukum yang telah diakui secara universal, setidaknya ada sesuatu hasil pengetahuan yang memberikan kepastian. Misalnya hukum ilmu hitung tentang matematika, 1 + 1 = 2. Bunyi hukum matematika tersebut merupakan kesepakatan bersama bahwa setiap bilangan 1 ditambah dengan bilangan 1 adalah hasilnya 2. Kelebihan pemikiran Hume mengenai skeptisisme Kritik atas pengertian kausalitas, merupakan sebuah analisis kritis dari Hume yang berharga bagi kita. Yang perlu digarisbawahi yakni pengamatan yang cenderung megamati post hoc saja dan proper hoc diabaikan. Dalam pengamatan empiris selalu hanya menyediakan urutan waktu, tidak pernah sebuah hubungan internal. Oleh karena itu, penyelidikan lebih lanjut mengenai hubungan internal suatu objek perlu ditekankan juga. Sumeber acuan : Buku 13 Tokoh Etika, Karya Franz MAgnis Suseno,1997. Yogyakarta : Kanisius Sember gambar : martinfrost.ws

 


Blogger Template By LawnyDesigns