Tampilkan postingan dengan label Etika. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Etika. Tampilkan semua postingan

Selasa, 13 November 2012

Utilitarianisme Prinsip Kegunaan : “Suatu tindakan harus dianggap BETUL sejauh cenderung mendukung kebahagiaan, SALAH sejauh menghasilkan kebalikan dari kebahagiaan. Dengan kebahagiaan dimaksud kesenangan (pleasure) dan kebebasan rasa sakit dan tiadanya kebahagiaan.” - Ia mengkritik pandangan Bentham bahwa kesenangan dan kebahagiaan harus diukur secara kuantitatif. - Ia berpendapat bahwa kualitasnya perlu dipertimbangakan juga, karena ada kesenangan yang lebih tinggi mutunya dan ada yang lebih rendah. - Kesenangan manusia harus dinilai lebih tinggi daripada kesenangan hewan, tegasnya nikmat rohani juga penting disamping nikmat jasmani, dan kesenangan orang seperti Sokrates lebih bermutu dari pada kesenangan orang tolol. - Kualitas kebahagiaan dapat diukur secara empiris, yaitu kita harus berpedoman pada orang bijaksana dan berpengalaman dalam hal ini. Orang seperti itu dapat memberi kepastian tentang mutu kesenangan. - Kebahagiaan yang menjadi norma etis adalah kebahagiaan semua orang yang terlibat dalam suatu kejadian, bukan kebahagiaan satu orang saja yang barangkali mempunyai status khusus. Hal ini menunjukkan bahwa Mill sangat menolak tuduhan bahwa utilitarianisme adalah etika yang egois. - Kebahagiaan satu orang tidak pernah boleh ditempatkan di atas kebahagiaan orang lain, betapa pun pentingnya, kedudukannya dalam masyarakat. - Jadi, perbuatan dinilai baik, jika kebahagiaan melebihi ketidakbahagiaan, di mana kebahagiaan semua orang yang terlibat dihitung dengan cara yang sama. Asosiasi Psikologis  manusia secara kodrati bersifat sosial, berarti ia meminati orang lain. Ia nikmat apabila orang lain merasa nikmat. Lama kelamaan terjadi asosiasi psikologis antara gagasan tentang nikmat orang lain dengan kebahagiaannya sendiri. Selengkapnya...

Kamis, 11 Oktober 2012

Hume menyangkal angapan rasionalisme bahwa ada paham-paham dan prinsip-prinsip yang kita ketahui berasal murni dari akal budi, lepas dari segala pengamatan. Menurut Hume, segala isi kesadaran berasal dari pengalaman inderawi. Hanya ada dua macam pengertian, yaitu pengalaman inderawi, baik dari luar maupun perasaan-perasaan batin, yang disebutnya impression, dan isi-isi hasil asosiasi impresi-impresi itu, yang disebutnya ideas atau gagasan. Yang terakhir termasuk prinsip-prinsip ilmu ukur juga pikiran tentang Tuhan. Oleh karena gagasan-gagasan ini semata-mata berdasarkan asosiasi antara impresi-impresi, pengalaman-pengalaman inderawi dan batin, gagasan-gagasan itu tidak memiliki eksistensi sendiri. Gagasan-gagasan itu semata-mata mencerminkan proses-proses psikis kita dalam menghubungkan dan mengkombinasikan data-data empiris. Oleh karena itu, konsepsi Hume dapat disebut Psikologisme. Hume menolak adanya kebenaran-kebenaran yang mutlak, yang pasti. Semua kebenaran bersifat faktual, dalam arti berdasarkan adanya kesan inderawi atau data pengalaman yang kebetulan. Yang dapat diketahui semata-semata kesan-kesan inderawi satu-satu. Secara objektif tidak ada kepastian bahwa pengalaman yang sering terulang akan terus terualang, misalnya bahwa batu ygn dilempar ke atas mesti jatuh ke bawah lagi. Apa yang kita sebut hukum alam bukanlah kepastian objektif, melainkan berdasarkan kepercayaan kita semata-mata. Kepercayaan itu sendiri berdasarkan perasaan kebiasaan, sebenarnya tidak ada kepastian, melainkan hanya kebarangkalian. Hume menganut skeptisisme; ia tidak menerima bahwa ada pengetahuan yang memberikan kepastian. Secara khusus Hume mengkritik dasar metafisika : pengertian kausalitas atau penyebaban, dan pengertian substansi. Jika sebuah bola bilyar melanggar bolabilyar yang lain, dan yang pertama berhenti bergerak, sedangkan yang kedua meneruskan gerakannya, dikatakan bahwa hantaman bola bilyar pertama menyebabkan gerakan bola bilyar kedua. Namun, menurut Hume tidak ada dasar sama sekali untuk mengatakan demikian. Yang diamati hanyalah post hoc, bukan proper hoc, hanyalah bahwa sudah dua bola itu bersentuhan, yang satunya mulai bergerak, tetapi kita tidak melihat bahwa gerakan bola kedua adalah karena bola yang pertama. Pengamatan empiris selalu hanya menyediakan urutan dalam waktu, tidak pernah sebuah hubungan internal. Substansi dimaksudkan sesuatu yang berada pada dirinya sendiri, di mana pelbagai sudut menjadi satu dalam substansi tersebut. Namun, gagasan itu pun hanyalah gagasan psikologis, bukan ontologis. Dalam kenyataan kita hanya melihat pelbagai segi yang melekat pada sesuatu, a bundle of perceptions, dan tidak pernah “sesuatu” itu sendiri. Kita menganggap semua segi seseorang – gerak-geriknya, bentuknya, warnanya, tertawanya,dan sebagainya – sebagai ciri orang itu adalah semata-mata berdasarkan kebiasaan bahwa segi-segi itu selalu muncul bersama. Pengalaman inderawi tidak memuat apa pun tentang sebuah substansi “di belakang” segi-segi itu. Itu bahkan berlaku bagi keakuan kita sendiri. Kita berpendapat bahwa keakuan kita merentangkan diri secara identik melalui waktu. Namun, sebenarnya “aku” ini hanyalah “deretan kontinu kesan-kesan”. Kelihatan bahwa Hume memang pemikir empiristik murni. Empirisme merupakan epistemologis karena mengenai batas kemampuan pengetahuan manusia. -------- Analisis ------- Kelemahan pemikiran Hume mengenai skeptisisme David Hume menganggap bahwa tidak ada pengetahuan yang memberikan kepastian. Bagaimana dengan adanya hukum-hukum ilmu ukur atau ilmu hitung yang telah menjadi kesepakatan bersama? Dengan pengakuan akan kebenaran suatu hukum yang telah diakui secara universal, setidaknya ada sesuatu hasil pengetahuan yang memberikan kepastian. Misalnya hukum ilmu hitung tentang matematika, 1 + 1 = 2. Bunyi hukum matematika tersebut merupakan kesepakatan bersama bahwa setiap bilangan 1 ditambah dengan bilangan 1 adalah hasilnya 2. Kelebihan pemikiran Hume mengenai skeptisisme Kritik atas pengertian kausalitas, merupakan sebuah analisis kritis dari Hume yang berharga bagi kita. Yang perlu digarisbawahi yakni pengamatan yang cenderung megamati post hoc saja dan proper hoc diabaikan. Dalam pengamatan empiris selalu hanya menyediakan urutan waktu, tidak pernah sebuah hubungan internal. Oleh karena itu, penyelidikan lebih lanjut mengenai hubungan internal suatu objek perlu ditekankan juga. Sumeber acuan : Buku 13 Tokoh Etika, Karya Franz MAgnis Suseno,1997. Yogyakarta : Kanisius Sember gambar : martinfrost.ws Selengkapnya...

Selasa, 06 Maret 2012

Indonesia merupakan negara besar, terbentang luas dari Sabang samapai Merauke dengan beratus suku yang ada, Indonesia mempunyai potensi sumber daya alam dan manusia yang melimpah. Potensi dalam pengembangan sumber daya perikanan, pertanian, pertambangan, perindustrian dan industri kreatif yang merupakan penggerak perekonomian negara, selain itu tidak kalah penting juga dengan sumber daya manusia Indonesia, para generasi muda bangsa ini mempunyai kewajiban dalam turut serta melaksanakan pembangunan nasional yang berkelanjutan. Sebagian dari generasi muda tersebut adalah para mahasiswa seluruh Indonesia, mahasiswa sebagai kaum intelektual seharusnya memiliki kepekaan tinggi terhadap persoalan bangsa, mengkritisi berbagai persoalan yang terjadi di sekitarnya, banyak persoalan yang dihadapi oleh bangsa ini, mulai dari masalah hukum, perekonomian, lingkungan hidup, serta yang sering dibahas juga adalah masalah sosial yang terjadi menyeluruh di bangsa ini.
Ketimpangan sosial di Indonesia telah menjadi sebuah masalah yang kompleks dalam hal penyebab terjadinya dan akibat dari ketimpangan sosial tersebut. Ketimpangan sosial merupakan masalah kehidupan sosial yang didalamnya terdapat hubungan sosial antar masyarakat dan hubungan antara masyarakat dengan pemimpin negara, contoh ketimpangan sosial seperti kemiskinan. Ketimpangan tersebut terjadi karena hubungan tersebut tidak berjalan harmonis atau sejalan. Karena di dalam hubungan sosial yang harmonis adalah terdapat sebuah hasil hubungan yang mempunyai manfaat bersama, dan saling menguntungkan. Oleh karena itu, ketimpangan yang terjadi dalam bangsa Indonesia, salah satu penyebabnya adalah ketidak harmonisan tersebut, hal ini bisa saja terjadi karena komunikasi yang tidak baik antara rakyat dan pemimpin, serta dipengaruhi banyak faktor yang mendukung terjadinya ketimpangan sosial, seperti faktor perekonomian negara, dan lainnya.


Akan tetapi ada suatu permasalah mendasar yang juga mempengaruhi ketimpangan sosial di sekitar kita, yakni persoalan karakter atau kepribadian masyarakat secara umum yang menjadi kebiasaan kurang baik, ini dapat dilihat dalam pola pikir dan prinsip kerja serta sifat-sifat umum masyarakat pada umumnya. Sifat-sifat dasar moral seperti kejujuran, kedisplinan, tanggung jawab dan sebagainya. Permasalahan moral ini sangat mempengaruhi kehidupan seseorang karena akan membentuk suatu watak dan kebiasaan seseorang, sehingga apabila dalam perjalanan hidup seseorang manusia tidak mendapat pendidikan karakter dengan baik, dapat dipastikan mereka akan menjadi pribadi-pribadi yang bermoral-etis kurang baik. Sebagai contoh, kebiasaan mencontek memang dianggap wajar oleh siswa atau pun mahasiswa sekalipun. Padahal, telah disadari bahwa mencontek merupakan tindakan yang tidak terpuji dan merupakan suatu pertanda dari ketidak mampuan seseorang dalam menyelesaikan sesuatu hal. Akan tetapi, seperti yang terlihat saat ini, banyak orang yang menghalalkan mencontek, apabila ditinjau dari filsafat moral atau etika, ini merupakan fenomena keputusan atau tindakan seseorang yang tidak didasari pertimbangan kesesuaian dengan norma dan persetujuan hati nurani. Jadi orang yang mencontek, mempunyai suatu motivasi tertentu, misalkan ingin mendapat nilai A, kemudian orang yang mencontek karena melihat situasi dan kondisi sekitar, misal seseorang berani mencontek karena pengawasan yang lemah, dan hal ini berpengaruh pada seseorang dalam memahami bentuk perbuatan tersebut, yakni mencontek dianggap sebagai sesuatu yang biasa, dan mereka juga melihat dampak secara langsung, yakni berhasil mendapat nilai A, akan tetapi sesungguhnya orang yang mencontek adalah orang yang mengabaikan norma dan hati nurani.
Dari fenomena mencontek tersebut,dapat dikembangkan lagi ke dalam fenomena yang lebih luas lagi, seperti korupsi, serta banyak lagi tindakan yang sangat mengabaikan norma dan hati nurani manusia. Dengan banyaknya pelaku perbuatan-perbuatan yang seperti telah dicontohkan sebelumnya, besar kemungkinan untuk terbentuk suatu kebiasaan masyarakat yang diasumsikan wajar, akan tetapi norma dan hati nurani seseungguhnya telah terabaikan. Kebisaan inilah yang telah menjerumuskan masyarakat pada ketimpangan hidup dan akan berdampak pada sekelilingnya.
Untuk mengurangi atau bahkan menghilangkan kebiasaan tersebut dirasa sangat sulit, akan tetapi akan lebih baik apabila ada upaya bersama untuk memabangun karakter bangsa secara umum menjadi lebih baik. Dengan perbaikan karakter masyarakat, pendidikan ini bisa dilakukan di mulai dari lingkungan keluarga, masyarakat hingga lingkungan pendidikan formal atau sekolah. Dengan melakukan pendidikan karakter atau moral sedini mungkin dan secara terus menerus akan menumbuhkan suatu karakter positif yang bisa diharapkan menjadi pribadi yang baik. Dan diharapkan bangsa ini mempunyai generasi muda penerus yang selain potensial dalam bidang keilmuan, akan tetapi berkepribadian yang baik.

Selengkapnya...

 


Blogger Template By LawnyDesigns